Siti Jenar dan Kejawen

Kutipan Hasil Wawancara


Narasumber: Agus Sunyoto
Dalam khazanah peradaban Islam, praktik penyesatan memiliki sejarah yang panjang. Konteks yang melingkupinya pun tak jarang melibatkan nuansa politik dan menghadirkan campur tangan penguasa. Dalam mengkaji beberapa aspek yang mengiringi tindakan penyesatan itu, menarik untuk menyimak petikan wawancara dengan Agus Sunyoto, penulis buku Suluk Abdul Jalil yang kini tengah
menggagas Pesantren Global dalam mempersiapkan 'perang' globalisasi tahun 2015.


Akhir-akhir ini banyak kasus penyesatan, pendapat anda?

Sebelumnya begini, kasus-kasus penyesatan yang akhir-akhir ini muncul harus dilihat, apakah muncul dengan sendirinya atau setting. Kalau setting jelas ini dimunculkan oleh teori Samuel Hungtington, perang peradaban itu. Pasca runtuhnya komunis, Islam diposisikan sebagai pengganti (ideologi) komunis. Islam dianggap sebagai kekuatan ekstrim, teroris, sehingga muncul clash civilization itu. Kemudian ini (konflik bernuansa agama) dimunculkan dan disorot dunia. Inilah Islam, anarkhis, suka ngamuk, dan melakukan aksi sepihak seperti komunisme. Ini nanti yang ancur Islam, jelas koq. Islam dicurigai di mana-mana. Makanya kasus seperti ini harus disikapi dan dikaji secara mendalam.

Kemudian, apa sih kewenangan MUI menyatakan ini sesat ini tidak. Kalau dia mempunyai kewenangan seperti itu saya ingin MUI itu diubah namanya menjadi Majlis Ahli Surga, tentu sorganya mereka sendiri. Selama tidak jelas mereka ahli sorga, jangan menilai yang lain ahli neraka, sesat. MUI itu khan bikinan orde baru untuk mendukung pemerintah, makanya dilembagakan. Mana ada dahulu ulama dilembagakan. Tidak ada. Zamannya Mbah Hasyim (KH Hasyim As Asy'ari) dan Kiai Mas Mansyur ulama itu tidak dilembagakan. Dalam sejarah sufisme, kasus penyesatan khan bukan hal baru?

Tinggal kita melihat perkembangan itu begini. Sistem pengetahuan yang ada di Jawa itu ada dua. Yang pertama pengetahuan yang dinamakan ngelmu, berupa analisis dan penalaran dari pemikiran. Istilah ngelmu ini berasal dari bahasa Arab, Al'ilmu, yang digunakan untuk mengenal alam materi, alam ciptaan yang kasat mata, pengembangannya pada paradigma, dogma, pemikiran dan ilmu pengetahunan. Yang kedua, pengetahuan yang berupa kaweruh, dari kata weruh. Itu pengetahuan intuitif yang berangkatnya dari hati manusia untuk mengenal sesuatu yang bukan benda. Begitu Hindu, Budha, Islam masuk di Indonesia kedua pengetahuan ini dikembangkan secara seimbang. Kaweruh ini yang dalam bahasa arab disebut ma'rifah. Dalam pengetahuan Islam, Fiqh misalnya, yang lebih mengedepankan ilmu, pengetahuan nalar, aqli, meskipun juga didukung dengan naqli yang lebih bersifat keyakinan. Tasawuf itu beda, dia lebih mengedepankan makrifah, zauq (perasan), karena itu lebih mengkedepankan hati. Karena itu paradigmanya juga lain.

Penyesatan Al Hallaj misalnya lebih karena aspek politis. Pemahaman tentang wahdatul wujud, Al Ittihad, dan hulul kemudian dianggap sesat. Padahal ketika mau dijatuhi hukuman mati, dia (Al Hallaj) ditanya, "Apa permintaanmu terakhir?". Dia jawab, "Ijinkan saya sholat dua rakaat". Al Hallaj juga aholat. Jadi dia dianggap sesat, murtad, itu di mana? Dia juga dituduh syi'ah yang ekstrim. Lha wong amaliyah tarekat-nya, silsilah sampai ke Abu Bakar Ash-Shiddiq, koq dianggap sesat. Khan konyol pandangan ulama' dahulu itu. Ini pertimbangan politik. Kasus di Indonesia juga sama, Syeikh Siti Jenar juga begitu.

Dalam penyesatan Syeikh Siti Jenar secara politis bagaimana?

Kesalahan Syeih Siti Jenar itu dia memotong silsilah tarekat. Karena dahulu itu ada kecenderungan semua guru, silsilah tarekat harus dari Arab, mursyid juga begitu. Itu yang oleh Syeikh Siti Jenar ditentang. Kemudian apa, orang Jawa tidak bisa menjadi mursyid (guru) thariqah. Dari Abu Bakar As-Shiddiq langsung ke Syekh Siti Jenar, kamu boleh jadi mursyid dan ajarkan sebagai orang Jawa. Kenapa, Gusti Allah itu bukan hanya milik orang Arab, dan Islam tidak mengenal pewarisan yang turun temurun seperti itu. Itulah kesalahan Syekh Siti Jenar, mengangkat derajatnya orang Jawa, orang Sunda, pribumi, bahwa orang pribumi boleh berhubungan dengan Tuhan. Tuhan tidak membatasi kebangsaan seseorang. Apalagi dia mengajarkan hubungan dengan Tuhan itu bisa langsung secara pribadi, langsung saja tidak perlu pakai perantara. Akhirnya orang-orang banyak yang sembahyang sendiri-sendiri tidak setor kepada ulama.

Istilah rakyat, atau ro'iyah atau masyarakat, kalau tidak ada Syeikh Siti Jenar anda tidak akan mengenal istilah itu. Yang anda kenal kawula, kalau orang sunda abdi, kalau di tanah Melayu sahaya, artinya juga budak. Syeikh Siti Jenar tidak, insun (aku). Sultan dahulu itu kan disembah-sembah. Ini yang ditentang Siti Jenar, pengikutnya banyak yang tidak patuh, melawan. Karena kalangan Keraton jumlahnya banyak, Siti Jenar sedikit, dihabisi. Jadi gerakan revolusi sebenarnya Syekh
Siti Jenar itu, baginya masyarakat itu bukan kawula. Dia yang menyadarkan orang kepada hak dasar manusia bahwa rakyat bukan budak.

Ada anggapan bahwa sufisme meremehkan masalah syari'at sehingga muncul penyesatan?

Dalam tasawuf, sesuatu yang sifatnya syar'i, ini sering kali itu malah berlebihan (kuantitas dan kualitasnya). Sembahyang itu sampai 70 rokaat. Kayak itu tadi (Ali Thoha), puasa seumur hidup. Malah berlebihan. Karena, dia menganggap dunia itu tidak ada apa-apanya (dibanding beribadah). Gak ada ceritanya meremehkan syariat itu. Malah yang sering muncul anggapan bid'ah karena ditambahi. Lha wong mengingat Allah itu tidak dibatasi koq. Lebih konyol lagi tasawuf itu tidak membahas sorga dan neraka. Sekalipun mereka yaqin, itu (sorga-neraka) haq ada, itu semua makhluk ciptaan. Dia hanya menuju satu titik, Tuhan.

Dalam tasawuf yang penting tauhid. Makanya dalan ajaran Siti Jenar yang paling tinggi itu ingat kepada Allah, dzikrullah. Dalam kelompok kejawen itu ada ungkapan eling kang utomo. Eling artinya dzikir. Sembahyangpun tidak ada artinya kalau tidak ingat kepada Allah. Banyak orang yang sholat, tahajjud di masjid, tetapi pikirannya tidak eling kepada Allah, yang dingat urusan dunia dan jabatan. Makanya dalam Serat Syeikh Siti Jenar itu dikritik, "Badannya sholat tetapi pikirannya mencuri". Jadi sebetulnya itu, anggapan sesat atau tidak itu tergantung orang yang memandang. Tetapi bagi sesama orang tasawuf ya nggak akan menyalahkan. Kenapa, karena tasawuf itu masalah qolb (hati). Jadi tidak ada di tasawuf itu (menghakimi) ini sesat. Karena kesesatan itu definisi akal, kalau sudah akal itu, kesombongan, pamrih muncul di situ. Karena yang dikenal akal hanya yang nampak. Kenapa tasawuf itu bisa berkumpul, berdiskusi dengan pendeta Hindu, Bhuda, memperbincangkna tentang Illahi meskipun namanya beda. Itu bisa (dilakukan) karena ya hatinya bertemu.
*** * ***

Syekh Siti Jenar Tidak Wafat Dieksekusi


Sabtu, 27 Agustus 2005 21:12
________________________________________

Kapanlagi.com - Syekh Siti Jenar yang merupakan wali kontroversial ternyata tidak wafat dieksekusi seperti dipersepsikan masyarakat Islam selama ini. "Saya meneliti sejarah Syekh Siti Jenar dari sekitar 300 pustaka kuno yang tidak ada di perpustakaan, ternyata persepsi tentang Syekh Siti Jenar seperti selama ini tidak benar," kata Agus Sunyoto selaku penulis buku di Surabaya, Sabtu (27/08).

Ia mengungkapkan hal itu untuk meluruskan stigma jelek terhadap sosok Syekh Siti Jenar dalam bedah buku bertajuk "Susuk Malang Sungsang" yang berjumlah tujuh jilid di Toko Buku (TB) Togamas Surabaya.

Bedah buku karya Agus Sunyoto itu menampilkan pembahas Mohammad Sobary (mantan PU LKBN ANTARA/LIPI), Prof DR Setyo Yuwono Sudikan (budayawan/guru besar Universitas Negeri Surabaya), dan KH Agus Ali Masyhuri (PP Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo).

Menurut Agus Sunyoto, Syekh Siti Jenar juga tetap menjalankan syariat (hukum dan amal dalam beragama) dan tidak mengajarkan "sasahidan" atau ajaran yang sesat dan menyesatkan seperti dipersepsikan orang selama ini.

"Jadi, para pengikut beliau menganggap persepsi orang tentang Syekh Siti Jenar selama ini merupakan kebohongan, bahkan dalam soal tauhid (keimanan) pun, Syekh Siti Jenar tidak menganggap dirinya adalah Tuhan," katanya.

Ajaran manunggaling kawula-Gusti (kesatuan Tuhan dan manusia), katanya, merujuk pada Al-Qur`an (firman Allah SWT) bahwa Allah SWT ada dimana-mana tanpa dibatasi ruang, gerak, dan waktu atau Tuhan selalu ada dalam setiap ruang kosong.

"Ketika Nabi Muhammad SAW membangun ka`bah bukan berarti Tuhan itu ada di ka`bah tapi di tengah-tengah ka`bah ada ruang kosong. Nah, Tuhan selalu ada di dalam setiap ruang kosong, apakah di Timur Tengah, Indonesia, atau alam semesta ini," katanya.

Membedah buku karya Agus Sunyoto itu, budayawan Prof DR Setyo Yuwono Sudikan yang juga guru besar Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu mengatakan Agus Sunyoto telah melakukan dekonstruksi sosok Syekh Siti Jenar melalui buku.

"Agus Sunyoto telah melakukan dekonstruksi ketokohan dan ajaran Syekh Siti Jenar. Dari zaman ke zaman, negara memang telah menguatkan hegemoni terhadap ulama, pujangga, dan tokoh masyarakat yang dianggap kritis dan berbahaya," katanya.

Senada dengan itu, budayawan Mohammad Sobary yang juga mantan Pemimpin Umum (PU) LKBN ANTARA itu menyatakan karya Agus Sunyoto membuktikan bahwa sejarah itu tidak pernah selesai dan kebenaran sejarah juga tak selalu final.

"Paling tidak, Agus Sunyoto telah menampar wajah para ilmuwan yang selama ini merasa puas dengan sejarah yang sudah ada, bahkan Agus Sunyoto juga berhasil membongkar tabir mitos yang selama ini melingkupi Syekh Siti Jenar," katanya.

Namun, katanya, karya Agus Sunyoto akan lebih hebat lagi jika tidak hanya berhenti pada penampilan sosok Syekh Siti Jenar secara lebih adil, melainkan juga mendorong pembaca tertarik meneladani Syekh Siti Jenar dan akhirnya sujud kepada Allah SWT yang menciptakan tokoh seperti Syekh Jenar.

Catatan serupa juga dikatakan pengasuh Pesantren Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo, KH Agus Ali Masyhuri. "Agus Sunyoto memang mampu menjebol stigma jelek tentang sosok Syekh Siti Jenar," katanya.

Bahkan, katanya, pandangan bahwa Syekh Siti Jenar itu mampu mengubah diri seperti cacing atau anjing telah dibantah, karena pandangan seperti itu sama halnya dengan rekayasa untuk memojokkan seorang wali. (*/lpk)
*** * ***



Asal-Usul Haul dan Kenduri Kematian


Monday, 05 May 2008

Budaya kenduri kematian dalam ta'ziah seperti tahlil, bukanlah berasal dari budaya Hindu dan Budha seperti yang dikalim oleh segolongan orang. Sebab kedua agama ini tidak mengenal istilah itu.

Demikian diungkapkan oleh pengamat budaya dan sejarah Agus Sunyoto seperti yang dikutip Antara News pada seminar internasional, "Cheng Hoo, Wali Songo dan Muslim Tionghoa Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Esok" yang digelar Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo dan PITI di Surabaya, Minggu.

Menurutnya, dalam agama Hindu atau Budaha tidak dikenal kenduri dan tidak pula dikenal peringatan orang mati pada hari ketiga, ketujuh, ke-40, ke-100 atau ke-1.000.

Masih menurut Antara, Agus mengemukakan bahwa catatan sejarah menunjukkan orang Campa memperingati kematian seseorang pada hari ketiga, ketujuh, ke-40, ke-100 dan ke-1.000. Orang-orang Campa juga menjalankan peringatan khaul, peringatan hari Assyuro dan maulid Nabi Muhammad SAW.

"Mencermati fakta itu, maka saya berkeyakinan tradisi kenduri, termasuk khaul adalah tradisi khas Campa yang jelas-jelas terpengaruh faham Syi`ah. Demikian juga dengan perayaan 1 dan 10 Syuro, pembacaan kasidah-kasidah yang memuji-muji Nabi Muhammad menunjukkan keterkaitan tersebut," katanya.

Bahkan, katanya, istilah kenduri itu sendiri jelas-jelas menunjuk kepada pengaruh Syi`ah karena dipungut dari bahasa Persia, yakni Kanduri yang berarti upacara makan-makan memperingati Fatimah Az Zahroh, puteri Nabi Muhammad SAW.

Agus Sunyoto yang juga dikenal sebagai penulis sejumlah novel dengan latar belakang wali, antara lain Syekh Siti Jenar yang bersambung hingga tujuh novel itu mengemukakan bahwa ditinjau dari aspek sosio-historis, munculnya tradisi kepercayaan di Nusantara ini banyak dipengaruhi pengungsi dari Campa yang beragama Islam.

"Peristiwa yang terjadi pada rentang waktu antara tahun 1446 hingga 1471 masehi itu rupanya memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi terjadinya perubahan sosio-kultural religius di Majapahit," kata mantan wartawan yang kini menjadi dosen budaya di Unibraw Malang itu.

Ia memberi contoh kebiasaan orang Campa yang memanggil ibunya dengan sebutan "mak", sedangkan orang-orang Majapahit kala itu menyebut "ibu" atau "ra-ina". Di Surabaya dan sekitarnya, tempat Sunan Ampel menjadi raja, masyarakat memanggil ibunya dengan sebutan "mak".

"Pengaruh kebiasaan Campa yang lain terlihat pula dalam cara orang memanggil kakaknya atau yang lebih tua dengan sebutan `kang`, sedangkan orang Majapahit kala itu memanggil dengan sebutan `raka`. Untuk adik, orang Campa menyebut `adhy`, sedangkan di Majapahit disebut `rayi`," katanya.

Pada kesempatan itu, Agus membedakan pengaruh muslim Cina dengan Campa di masa-masa akhir kejayaan kerajaan Majapahit atau di era Wali Songo. Muslim Campa selama proses asimilasi melebur dengan penduduk setempat, hingga watak Campanya hilang dan berbaur dengan kejawaan.

"Tapi muslim Cina masih cukup kuat menunjukkan eksistensi kecinaannya sampai beberapa abad," katanya.

Seminar untuk mengenang kebesaran Laksamana Cheng Hoo dan kaitan penyebaran Islam di Nusantara serta peran Wali Songo itu menghadirkan sejumlah pakar dari Cina, Malaysia dan Indonesia sendiri.(ant/kurt)

Dihimpun dari pelbagai sumber, al: Pesantren Buntet


Print this post

Sincerely,
Padhang Bulan

0 komentar :

Posting Komentar

Tulis komentar TERBAIK kamu. Yang paling rajin komentar Lela review blognya dalam posting “BLOG REVIEW”. Komentar yang kreatif-inspiratif memungkinkan jadi bahan posting Lela dan pastinya.., blog kamu dapat promosi GRATIS. Thanks..

Cancel Reply