Islam Nan Humanis

Islam Nan Humanis


Wawancara Kajian Islam Utan Kayu di Radio 68H Jakarta dengan Kiai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagaimana dikutip dari Jaringan Islam Liberal [JIL].

Keberagamaan umat Islam saat ini sering dikaitkan dengan radikalisme dan kekerasan. Apa yang salah menurut Gus Dur?

Saya rasa persoalannya adalah ketidakmengertian. Mereka yang melakukan kekerasan itu tidak mengerti bahwa Islam tidaklah terkait dengan kekerasan. Itu yang penting. Ajaran Islam yang sebenar-benarnya — saya tidak memihak paham mana pun, baik Ahlus Sunnah, Syi’ah, atau apapun — adalah tidak menyerang orang lain, tidak melakukan kekerasan, kecuali bila kita diusir dari rumah kita. Ini yang pokok. Kalau seseorang diusir dari rumahnya, berarti dia sudah kehilangan kehormatan dirinya, kehilangan keamanan dirinya, kehilangan keselamatan dirinya. Hanya dengan alasan itu kita boleh melakukan pembelaan.


Bagaimana cara menanggulangi radikalisme itu, Gus?

Ya, kita tidak boleh berhenti menekankan bahwa Islam itu agama damai. Dalam Alquran, ajaran tentang itu sudah penuh. Jadi, kita tidak usah mengulang-ulang (pernyataan) lagi bahwa Islam itu damai dan rasional. Hanya saja, memang ada sisi-sisi lain dari Islam yang kurang rasional. Tapi kalau dipikir-pikir lagi secara mendalam, jangan-jangan itu rasional juga. Jadi dengan begitu, kita tidak boleh serta-merta memberikan judgement, pertimbangan, penilaian. Jangan. Kita harus benar-benar tahu latar belakang mengapa seseorang melakukan kekerasan. Tapi biasanya, yang pura-pura (Islam) itulah yang paling keras.

Bagaimana Gus Dur mendefenisikan istilah kafir?

Mengenai pengertian kafir, muballigh kayak Yusril Ihza Mahendra saja, menteri kita itu, nggak tahu. Dulu dia pernah bilang, “Saya kecewa pada Gus Dur yang terlalu dekat dengan orang Kristen dan Yahudi. Padahal, Alquran mengatakan, tandanya muslim yang baik adalah asyiddâ’u`‘alal kuffâr (tegas terhadap orang-orang kafir).” Terus saya balik tanya, “Yang kafir itu siapa?”

Menurut Alquran, orang Kristen dan Yahudi itu bukan kafir, tapi digolongkan sebagai ahlul kitab. Yang dibilang kafir oleh Alquran adalah ”orang-orang musyrik Mekkah, orang yang syirik, politeis Mekkah”. Sementara di dalam fikih, orang yang tidak beragama Islam itu juga disebut kafir. Itu kan beda lagi. Jadi, kita jelaskan dulu, istilah mana yang kita pakai.

Banyak sekali soal khilafiah di dalam masyarakat dalam menafsirkan agama yang satu sekalipun. Apa kriteria perbedaan yang membawa rahmat itu, Gus?

Dulu, ada perbedaan antara Muhammadiyah dengan NU soal tarawih dua puluh tiga rekaat atau sebelas. Kan begitu. Semua itu sama-sama boleh. Jadi, jangan ribut hanya karena masalah seperti itu. Yang harus kita selesaikan adalah masalah-masalah pokok seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan sebagainya. Tapi itu malah yang nggak pernah diurusi. Malah yang diributkan tentang shalatnya bagaimana; sebelas rekaat atau berapa. Itu kan bukan masalah yang serius.

Mengapa ada kelompok Islam yang ingin ajaran-ajaran spesifik Islam diatur dalam hukum negara, seperti kewajiban berjilbab dan lain-lain?

Pemikiran seperti itu sebetulnya bersifat defensif. Artinya, mereka takut kalau Islam hilang dari muka bumi. Itu namanya defensif; pake takut-takutan. Sebenarnya, nggak perlu ada rasa ketakutan seperti itu. Mestinya, hanya urusan-urusan kemanusiaan yang perlu kita pegang. Adapun soal caranya, terserah masing-masing saja. Jadi orang Islam nggak perlu takut (Islam lenyap).

Coba saja bayangkan, dulu Islam berasal dari komunitas yang sangat kecil. Tapi sekarang, Islam jadi agama dunia. Agama Buddha dulu juga demikian, Kristen juga demikian. Orang Kristen dulu dimakan macan; nggak bisa apa-apa. Sama rajanya diadu dengan tangan kosong, bahkan diadu dengan singa. Toh sekarang agama Kristen jadi agama yang merdeka di mana-mana.

Begitu juga dengan Islam. Jadi, tidak usah diambil pusing. Di negara Republik Rakyat Cina (RRC) yang katanya tak bertuhan, agama Konghucu atau Buddha dalam kenyataannya tetap ada dan berkembang walau secara sembunyi-sembunyi.

Ada kesan umat Islam memusuhi seni rupa. Jangankan menggambar sosok nabi, menggambar makhluk bernyawa saja dikecam. Bagaimana Islam memandang seni rupa, Gus?

Dulu ada KH. Ahmad Mutamakkin dari Pati. Dia dituduh para ulama fikih di daerahnya telah mengamalkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam. Kenapa? Dia membiarkan adanya gambar gajah dan ular di tembok masjid. Lalu tuduhan bertambah: dia anti-Islam, karena suka menonton wayang kulit lakon Dewa Ruci. Kata yang menuduhnya: orang Islam kok percaya dewa-dewi.

Memangnya kenapa; untuk nonton saja nggak boleh? Dari sana dia kan bisa mengambil teori-teori yang dia tidak cocok. Untuk itu, kita ini jangan gampang-gampang bereaksi, apalagi menganggap orang lain itu kafir.

Mengapa sering terjadi benturan klaim kebenaran antar agama-agama, bahkan dalam satu rumpun agama yang sama?

Karena kita berani-beraninya mengambil alih jabatan Tuhan, fungsinya Tuhan, kerjaannya Tuhan. Emangnya kita siapa, kok berani-beraninya. Nggak ada yang lebih tinggi daripada yang lain. Yang lebih tinggi dan lebih besar dari segalanya hanya Tuhan.

Bagaimana menentukan sikap Islam yang benar dalam kompleksitas kehidupan dunia ini?

Sikap Islam yang benar adalah sikap yang sesuai dengan ajaran pokok Islam. Ajaran pokok Islam ialah: Tuhan itu satu. Jadi kita dituntut untuk mematuhi ajaran Tuhan, saling mengasihi, dan sebagainya. Kita harus saling mengasihi antar-manusia.[]

Print this post

Sincerely,
Padhang Bulan

0 komentar :

Posting Komentar

Tulis komentar TERBAIK kamu. Yang paling rajin komentar Lela review blognya dalam posting “BLOG REVIEW”. Komentar yang kreatif-inspiratif memungkinkan jadi bahan posting Lela dan pastinya.., blog kamu dapat promosi GRATIS. Thanks..

Cancel Reply