Mengembalikan Roh Pendidikan
Mengembalikan Roh Pendidikan
Oleh : Ki Supriyoko
Sekarang ini, pemerintah sedang gencar menyosialisasikan pendidikan gratis, sampai-sampai Bambang Sudibjo selaku menteri pendidikan harus terjun langsung. Program ini banyak membantu masyarakat, terutama kelompok miskin, namun ternyata ada "hantu besar" di balik itu. Program ini berpotensi menurunkan kualitas pendidikan. Padahal, kualitas pendidikan kita sampai sekarang masih belum mapan.
Pada 27 Januari 2009, ketika Centro de Información y Documentación mengumumkan 1.000 perguruan tinggi terbaik dunia, Top 1.000 World Universities Ranking on the Web 2009, masyarakat kita ''geger". Mengapa? Sebab, di antara 1.000 perguruan tinggi tersebut, hanya tiga yang berasal dari Indonesia. Itu pun di ranking bawah: UGM Jogjakarta di ranking ke-623, ITB Bandung ke-676, dan UI Jakarta ke-906.
Masyarakat tidak percaya, di antara 2.700-an PTN dan PTS yang bertebaran di wilayah Nusantara, ternyata hanya tiga ''gelintir" yang mampu menembus persaingan dunia.
Tiga bulan sebelumnya, masyarakat kita juga ''geger". Ketika Times mengumumkan 400 perguruan tinggi dunia dalam Top 400 Universities: World University Rankings 2008 (17 Oktober 2008), hanya tiga PT Indonesia yang berada di dalamnya. Yaitu, UI Jakarta di ranking ke-287, ITB Bandung ke-315, dan UGM Jogjakarta di ranking ke-316.
Terjebak Teori Barat
Membandingkan mutu dengan sistem perankingan memang positif, asalkan kita tidak terhipnotis olehnya. Sistem ranking itu adalah Teori Barat yang belum tentu cocok untuk budaya Indonesia. Teorinya masuk akal; kalau posisinya di atas, orang puas atas usaha yang dilakukan; kalau posisinya di bawah, orang akan berusaha lebih keras lagi untuk meningkatkan ranking.
Menurut publikasi Times, National University of Singapore berada di ranking ke-30. Menurut Teori Barat, mestinya civitas UI, ITB, dan UGM bekerja keras untuk memperpendek jarak dengan kedua universitas tersebut.
Apakah itu terjadi? Tidak! Mengapa? Banyak bukti menunjukkan sistem perankingan tak selalu cocok untuk budaya kita. Siswa SD yang rankingnya berada di bawah banyak yang tidak termotivasi menaikkan prestasi, tetapi justru nglokro alias menyerah sebelum bertanding.
Di Jawa Timur pernah diuji-coba memberikan hadiah kepada guru terbaik di SD supaya guru-guru yang lain termotivasi bekerja keras meningkatkan prestasi. Ternyata bukan itu yang terjadi, melainkan, kalau ada pekerjaan bersama selalu diserahkan kepada guru terbaik tersebut karena pernah menerima hadiah, sementara guru lain enggan membantu.
Masyarakat Tiongkok bersikap tegas terhadap Teori Barat tersebut; yaitu menggunakannya secara selektif dan hanya yang benar-benar teruji kecocokannya dengan budaya mereka. Dalam hal perankingan, misalnya, kalau pun di Tiongkok ada beberapa perguruan tinggi yang mengikuti perankingan ala CINDOC dan Times, jumlahnya relatif sedikit, sedangkan mayoritas mengesampingkannya.
Di sekolah juga demikian, sistem perankingan prestasi akademik sebagaimana yang dilakukan banyak sekolah kita tidak pernah dilakukan mayoritas sekolah di Tiongkok.
Kembali ke Konsep Indonesia
Kalau kita mengadakan introspeksi, memang ada sesuatu yang janggal. Kita suka geger kalau ranking mutu perguruan tinggi kita rendah. Kita ribut kalau siswa SMA, SMP, dan SD kita gagal di forum olimpiade. Tetapi, kita tidak pernah ribut kalau siswa kita suka mencontek, guru tidak mengajar dengan kasih sayang, atau dosen kita tidak mendidik secara ikhlas, dsb.
Saatnya kita kembali ke pendidikan Indonesia, pendidikan konsepsi Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan itu harus berlangsung dalam suasana keluarga dengan pendidik sebagai orang tua dan anak didik sebagai anak. Pendidikan itu dilakukan dengan rasa kasih sayang (love), keikhlasan (sincerely), kejujuran (honesty), keagamaan (spiritual), dan suasana kekeluargaan (family atmosphere). Moral pendidik bukanlah pegawai pemerintah atau yayasan, tetapi orang tua yang mengasuh anaknya.
Rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, serta suasana kekeluargaan itulah yang mestinya kita gegerkan atau kita ributkan karena saat ini sudah mulai menghilang.
Menurut Ki Hadjar, pendidikan yang dilaksanakan dengan penuh rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, dan suasana kekeluargaan itu disebut dengan sistem among. Selanjutnya, para pendidik yang bisa memerankan fungsinya secara baik disebut dengan pamong.
Guru dan dosen tidak dibatasi waktu dan tempat dalam mendidik siswa sebagaimana orang tua mendidik anaknya. Pagi hari, siang hari, sore hari, petang hari, bahkan malam hari pun, seorang guru dan dosen harus ikhlas memberikan bimbingan kepada siswa. Demikian pula, tempat pendidikannya tidak dibatasi di ruang-ruang kelas, tetapi di mana saja seorang guru harus sanggup berperan. Hal-hal seperti inilah yang menghilang dari sistem pendidikan nasional kita.
Menerapkan sistem perankingan perguruan tinggi dan sekolah menurut Teori Barat kiranya penting, namun kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, dan suasana kekeluargaan dalam pendidikan kiranya jauh lebih penting.
Sudah saatnya kita kembali ke pendidikan Indonesia! (*)
Prof Dr Ki Supriyoko SDU, MPd adalah pamong Tamansiswa; wakil presiden Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE); serta mantan sekretaris Komnas Pendidikan Indonesia. [JP Online, Jum'at, 15 Mei 2009]
Print this post
Sincerely,
Padhang Bulan
Oleh : Ki Supriyoko
Sekarang ini, pemerintah sedang gencar menyosialisasikan pendidikan gratis, sampai-sampai Bambang Sudibjo selaku menteri pendidikan harus terjun langsung. Program ini banyak membantu masyarakat, terutama kelompok miskin, namun ternyata ada "hantu besar" di balik itu. Program ini berpotensi menurunkan kualitas pendidikan. Padahal, kualitas pendidikan kita sampai sekarang masih belum mapan.
Pada 27 Januari 2009, ketika Centro de Información y Documentación mengumumkan 1.000 perguruan tinggi terbaik dunia, Top 1.000 World Universities Ranking on the Web 2009, masyarakat kita ''geger". Mengapa? Sebab, di antara 1.000 perguruan tinggi tersebut, hanya tiga yang berasal dari Indonesia. Itu pun di ranking bawah: UGM Jogjakarta di ranking ke-623, ITB Bandung ke-676, dan UI Jakarta ke-906.
Masyarakat tidak percaya, di antara 2.700-an PTN dan PTS yang bertebaran di wilayah Nusantara, ternyata hanya tiga ''gelintir" yang mampu menembus persaingan dunia.
Tiga bulan sebelumnya, masyarakat kita juga ''geger". Ketika Times mengumumkan 400 perguruan tinggi dunia dalam Top 400 Universities: World University Rankings 2008 (17 Oktober 2008), hanya tiga PT Indonesia yang berada di dalamnya. Yaitu, UI Jakarta di ranking ke-287, ITB Bandung ke-315, dan UGM Jogjakarta di ranking ke-316.
Terjebak Teori Barat
Membandingkan mutu dengan sistem perankingan memang positif, asalkan kita tidak terhipnotis olehnya. Sistem ranking itu adalah Teori Barat yang belum tentu cocok untuk budaya Indonesia. Teorinya masuk akal; kalau posisinya di atas, orang puas atas usaha yang dilakukan; kalau posisinya di bawah, orang akan berusaha lebih keras lagi untuk meningkatkan ranking.
Menurut publikasi Times, National University of Singapore berada di ranking ke-30. Menurut Teori Barat, mestinya civitas UI, ITB, dan UGM bekerja keras untuk memperpendek jarak dengan kedua universitas tersebut.
Apakah itu terjadi? Tidak! Mengapa? Banyak bukti menunjukkan sistem perankingan tak selalu cocok untuk budaya kita. Siswa SD yang rankingnya berada di bawah banyak yang tidak termotivasi menaikkan prestasi, tetapi justru nglokro alias menyerah sebelum bertanding.
Di Jawa Timur pernah diuji-coba memberikan hadiah kepada guru terbaik di SD supaya guru-guru yang lain termotivasi bekerja keras meningkatkan prestasi. Ternyata bukan itu yang terjadi, melainkan, kalau ada pekerjaan bersama selalu diserahkan kepada guru terbaik tersebut karena pernah menerima hadiah, sementara guru lain enggan membantu.
Masyarakat Tiongkok bersikap tegas terhadap Teori Barat tersebut; yaitu menggunakannya secara selektif dan hanya yang benar-benar teruji kecocokannya dengan budaya mereka. Dalam hal perankingan, misalnya, kalau pun di Tiongkok ada beberapa perguruan tinggi yang mengikuti perankingan ala CINDOC dan Times, jumlahnya relatif sedikit, sedangkan mayoritas mengesampingkannya.
Di sekolah juga demikian, sistem perankingan prestasi akademik sebagaimana yang dilakukan banyak sekolah kita tidak pernah dilakukan mayoritas sekolah di Tiongkok.
Kembali ke Konsep Indonesia
Kalau kita mengadakan introspeksi, memang ada sesuatu yang janggal. Kita suka geger kalau ranking mutu perguruan tinggi kita rendah. Kita ribut kalau siswa SMA, SMP, dan SD kita gagal di forum olimpiade. Tetapi, kita tidak pernah ribut kalau siswa kita suka mencontek, guru tidak mengajar dengan kasih sayang, atau dosen kita tidak mendidik secara ikhlas, dsb.
Saatnya kita kembali ke pendidikan Indonesia, pendidikan konsepsi Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan itu harus berlangsung dalam suasana keluarga dengan pendidik sebagai orang tua dan anak didik sebagai anak. Pendidikan itu dilakukan dengan rasa kasih sayang (love), keikhlasan (sincerely), kejujuran (honesty), keagamaan (spiritual), dan suasana kekeluargaan (family atmosphere). Moral pendidik bukanlah pegawai pemerintah atau yayasan, tetapi orang tua yang mengasuh anaknya.
Rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, serta suasana kekeluargaan itulah yang mestinya kita gegerkan atau kita ributkan karena saat ini sudah mulai menghilang.
Menurut Ki Hadjar, pendidikan yang dilaksanakan dengan penuh rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, dan suasana kekeluargaan itu disebut dengan sistem among. Selanjutnya, para pendidik yang bisa memerankan fungsinya secara baik disebut dengan pamong.
Guru dan dosen tidak dibatasi waktu dan tempat dalam mendidik siswa sebagaimana orang tua mendidik anaknya. Pagi hari, siang hari, sore hari, petang hari, bahkan malam hari pun, seorang guru dan dosen harus ikhlas memberikan bimbingan kepada siswa. Demikian pula, tempat pendidikannya tidak dibatasi di ruang-ruang kelas, tetapi di mana saja seorang guru harus sanggup berperan. Hal-hal seperti inilah yang menghilang dari sistem pendidikan nasional kita.
Menerapkan sistem perankingan perguruan tinggi dan sekolah menurut Teori Barat kiranya penting, namun kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, dan suasana kekeluargaan dalam pendidikan kiranya jauh lebih penting.
Sudah saatnya kita kembali ke pendidikan Indonesia! (*)
Prof Dr Ki Supriyoko SDU, MPd adalah pamong Tamansiswa; wakil presiden Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE); serta mantan sekretaris Komnas Pendidikan Indonesia. [JP Online, Jum'at, 15 Mei 2009]
Padhang Bulan
0 komentar :
Formulir Kontak
Labels
- Alnect Komputer
- Antasari Azhar
- Babad Cirebon
- Daging Babi
- Demokrasi
- Friendship
- God Eyes
- God Hand
- Gus Dur
- Helix
- Humanisme
- Ideologi
- Islam
- Kajian Keislaman
- Kawin Kontrak
- Kejawen
- Khilafah
- Liberalisme
- Multikulturalisme
- Nasrudin
- Nebula
- Nikah Mutah
- Nikah Sirri
- Politik
- Pornografi
- Presiden RI
- Rani Juliani
- Roh Pendidikan
- Sastra
- SBY
- Siti Jenar
- Syair
- Tauhid
- Yusuf
- Zulaykha
Popular Posts
-
Mengembalikan Roh Pendidikan Oleh : Ki Supriyoko S ekarang ini, pemerintah sedang gencar menyosialisasikan pendidikan gratis, sampai-sampai ...
-
A l-Suddy menuturkan bahwa sewafat Nabi Yusuf (dalam usia 120 tahun), Zulaykha rutin mengunjungi makamnya. Di atas pusara suaminya tercinta,...
-
BERDASARKAN NASKAH KLAYAN Oleh: ZENBAE (Terdiri dari 43 pupuh) P upuh pertama Dangdanggula, 13 Bait. Pupuh ini diawali oleh kalimat Bismilla...
-
Arti PerTEMANan S ahabat.. Andai untaian doa dapat mengikat kebersamaan Atau siasat para ulama bijak bestari Atau mutiara hikmah sastrawan n...
-
GADIS MANIS DI ANTARA DUA PEJABAT M asalah perempuan. Itulah isu yang santer terdengar dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Ban...
-
Kutipan Hasil Wawancara Narasumber: Agus Sunyoto D alam khazanah peradaban Islam, praktik penyesatan memiliki sejarah yang panjang. Konteks ...
-
Kitab Suci Porno? Saat ini, kisah yang menimpa Gus Dur mirip cerita Abu Nawas. Tersiar desas-desus, Gus Dur mengatakan Al-Quran adalah kitab...
-
VANBOOK NO1GA2 (Preview image on mouse, bukan produk kelinci percobaan..) Your Lifestyle (Zoom on mouse) @ Rp.725.000 ("Seberapa kamu g...
-
TENTANG PAK DOSEN “Jelas donk, tangan di atas tuh lebih baek daripada di bawah. Tapi liat2 dulu, di atas lagi ngapain? Kalo naruh yg baek2 y...
-
God's Eye (Helix) The Helix Nebula is a popular pin-up for astronomy fans, thanks to clouds of gas and debris that make the planetary ne...
statistics
Google Plus
Facebook
Twitter
Share this Post
Blogger news
About
Share-Saran Anda
Contributors
Diberdayakan oleh Blogger.
Posting Komentar
Tulis komentar TERBAIK kamu. Yang paling rajin komentar Lela review blognya dalam posting “BLOG REVIEW”. Komentar yang kreatif-inspiratif memungkinkan jadi bahan posting Lela dan pastinya.., blog kamu dapat promosi GRATIS. Thanks..